Bestala...
MENDAPAT durian runtuh, berarti
seseorang ditimpa keberuntungan. Beruntung: mungkin menang undian mobil di bank
besar, mungkin menang togel tembus empat angka seratus kupon, atau mungkin
seseorang tanpa keturunan tiba-tiba menghibahkan warisan kebun cengkeh ribuan
hektar ke pangkuanmu.
Di Desa Bestala, sebuah perkampungan pada lereng subur di pelosok
Buleleng yang disangga kebun dan belitan sabuk hutan belantara, beratus-ratus
durian bisa runtuh pada setiap pagi, pada musim buah yang riang. Dan
orang-orang bangun dari mimpi untuk melihat kenyataan yang amat sederhana.
Durian menggelinding di bawah pohon, di lereng jurang, atau pada hampar rumput
yang basah oleh embun. Sebagian orang-orang Bestala akan bergerak tanpa
tergesa, memunggut satu atau dua buah, dengan senyum segar yang tak
dikarang-karang. Senyum pagi yang yang dingin, berkabut, tapi jelas.
Pada musim buah yang riang, ada durian runtuh setiap pagi di Desa
Bestala. Apakah orang-orang di desa hijau itu sangat beruntung? Belum tentu.
Justru karena mereka benar-benar mendapatkan durian setiap pagi.
Senyata-nyatanya durian. Mereka tak hidup dalam dunia pepatah, mereka tak hidup
dalam dunia ibarat. Mereka hanya larut dalam ritual alam, ritual kepastian
tanpa bisa menawar atau ditawar.
Ritual itu dimulai pukul 06.00, mungkin pukul 04.00. Ketika dingin
berembus, sebagian orang di Bestala melemparkan selimut ke tepi dipan, lalu
bergerak ke belakang rumah, mungkin ada yang menyelinap ke sebuah kebun di tepi
hutan di lereng jurang. Di bawah pohon durian mereka memungut keberuntungan
dengan rasa syukur yang sahaja. Dua, tiga, atau sepuluh durian terkumpul. Jika
hanya dua, durian itu cukup ditenteng dengan dua tangan dengan rasa yang
teramat ringan. Jika banyak, durian itu dimasukkan dalam karung lalu
digendongnya juga dengan rasa yang teramat ringan. Di depan rumah, durian itu
diletakkan begitu saja. Maka jika sempat masuk ke jalan-jalan bersih di Bestala
pada sebuah pagi yang tepat, akan terlihat pemandangan menggiurkan, di mana
pada setiap pintu gerbang di depan rumah terlihat onggokan durian lengkap
dengan tebaran aroma harum-manis memabukkan.
Ritual lanjutan pun dimulai. Seseorang, mungkin dari Seririt,
mungkin dari Busungbiu, dengan mengendarai sepeda motor yang diganduli sepasang
bakul pada boncengannya memungut durian itu, satu per satu, di setiap rumah.
Seseorang itu membawanya ke pasar, dan durian itu pun melanjutkan ritualnya ke
wilayah yang mungkin sama sekali tak dikenal. Sementara orang-orang di Bestala,
pada musim buah yang riang tetap saja menggelar ritual pagi yang unik. Bangun
pagi, memungut, mengumpulkan di depan rumah, lalu hari-hari pun seperti biasa.
Apakah orang-orang Bestala cukup beruntung memiliki warisan pohon
durian dengan buah lezat yang membuat desa itu selalu dibincangkan pada setiap
musim buah yang riang? Belum tentu, jika keberuntungan hanya diukur dari garis
keramat ilmu ekonomi. Di Bestala, keberuntungan sepertinya hanya digariskan
oleh alam, di mana musim dan cuaca dibiarkan jadi topang yang lentur. Untuk
itulah maka tak ada istilah panen durian. Mereka tak menyewa tukang panjat
untuk menggugurkan seluruh buah di atas pohon. Mereka hanya memungut satu per
satu ketika buah telah matang dan runtuh ke tanah. Mereka juga membiarkan
ratusan pohon durian di desa itu tetap tumbuh semakin besar, sehingga sejumlah
pohon seakan-akan mirip makhluk purba yang mengerikan. Mereka tak mencoba untuk
menebang dan menggantinya dengan pohon durian kerdil yang lebih unggul dan
lebih rajin mengeluarkan buah. Tak ada intensifikasi dan ekstensifikasi. Yang
dipertahankan dengan sederhana hanya sebuah ritual pagi, di mana sebuah ruang,
waktu dan musim dibiarkan tumbuh dan berganti, seperti juga nasib yang tak bisa
diubah, ditubah atau ditubas.
Setiap musim panen durian kawasan pinggir jalan-jalan besar di Buleleng kembali dihiasi pedagang durian
musiman. Tengok misalnya di sepanjang jalan raya jurusan Singaraja-Denpasar,
Singaraja-Gilimanuk, Seririt-Tabanan dan jalan raya Kubutambahan-Kintamani. Di
pinggir jalan lintas kabupaten itu terdapat sejumlah tumpukan durian yang digeletakkan
begitu saja di atas trotoar atau disangga di atas meja sederhana. Buah dengan
aroma menggairahkan itu tentu saja menggoda banyak orang yang lewat untuk
segera berhenti. Tawar-menawar pun terjadi. Banyak pembeli yang membuka
langsung durian itu di pinggir jalan dan banyak juga yang memboyongnya sebagai
oleh-oleh keluarga di rumah. Mengapa orang begitu kesemsem dengan buah yang
satu ini? Apakah karena manisnya ataukan ada manfaat lain bagi nutrisi manusia?
Buleleng memang memiliki
banyak desa yang menjadi sentra penghasil buah lokal, terutama durian, manggis
dan ceroring. Yang paling terkenal tentu saja duriannya. Dan jika menyebut
durian, orang akan langsung teringat dengan Desa Bestala atau Desa Munduk
Bestala yang terletak di wilayah atas Kecamatan Seririt. Bestala memang
terkenal sebagai penghasil durian lokal dengan rasa buah yang harum dan manis.
Selain di Bestala, di daerah Buleleng bagian timur terdapat Desa Sudaji yang
terkenal sebagai penghasil durian Bangkok dengan ciri buah yang tebal dan juga
manis.
Sayangnya, buah durian
tidak bisa dijual setiap hari. Pemandangan meriah dengan onggokan-onggokan
durian di pinggir jalan hanya bisa dinikmati sekitar empat bulan setiap
tahunnya, yakni pada setiap musim durian yang biasanya terjadi pada bulan
Desember hingga bulan Maret. Jika saja durian itu bisa dibudidayakan dengan
baik, mungkin saja bisnis durian di pinggir jalan itu bisa dilakukan sepanjang
hari tanpa mengenal musim dan cuaca. Namun apa boleh buat, pohon durian memang
tak bisa dipaksa berbuah setiap hari. Buah lokal itu tidak seperti apel atau
buah-buahan impor lainnya yang selalu saja tersedia di swalayan dan supermarket
pada musim hujan, musim kemarau bahkan pada musim gugur sekalipun.
Karena hanya mengandalkan
musim dan dengan pembudidayaan yang sederhana, maka bisnis durian pun seperti
dijalankan dengan apa adanya. Produksi, distribusi dan cara pemasaran durian di
Buleleng memang masih dilakukan secara tradisional dan sangat sederhana. Tak
ada istilah panen durian, di mana buah-buah durian itu dipetik secara bersamaan
dalam satu hari. Pemilik pohon durian hanya mengandalkan durian runtuh setiap
pagi. Setiap pagi para pemilik pohon akan masuk kebun, mencari durian yang
runtuh. Jika dapat lima biji, maka dijual lima biji, begitu terus setiap hari.
Setiap pagi para pengepul
dengan mengendarai sepeda motor gandengan akan berkeliling ke satu ke rumah
lainnya untuk mengumpulkan durian-durian hasil reruntuhan itu. Setelah
terkumpul, durian itu dibawa ke pasar atau diserahkan ke pengepul lain.
Distribusinya bisa mencapai lima kali tahapan. Dari pemilik, ke pengepul satu,
pengepul dua, tiga, empat dan terakhir baru tiba di tangan penjual di pasar
atau pinggir jalan.
Dengan distribusi seperti
itu, maka harga durian Bestala di pasar atau pada penjaja pinggir jalan bisa
mencapai Rp 20.000. Padahal harga jual di rumah-rumah hanya sekitar Rp 5.000.
Jika sampai di Denpasar atau di luar Bali tahapan distribusi bisa mencapai
delapan kali tahapan.
Namun, banyak juga
pedagang-pedagang di pinggir jalan yang mengambil langsung ke kebun-kebun warga
yang ada di desa-desa. Para pedagang itu biasanya membeli langsung secara
borongan kepada warga. Biasanya para pedagang dengan warga pemilik pohon durian
sudah memiliki hubungan baik, semacam hubungan langganan. Dengan membeli
langsung kepada warga pemilik pohon durian, maka para pedagang itu bisa
mendapatkan keuntungan lebih besar karena otomatis sejumlah tahapan distribusi
akan terpangkas.
Memang, pada akhir atau
awal musim, ketika stok durian sedikit, harga durian akan menjadi lebih mahal.
Namun tetap saja seorang pedagang seperti dirinya tak bisa mengambil keuntungan
terlalu banyak karena pada saat durian sedikit, harga jual di tingkat warga
pemilik kebun juga tetap saja mahal. Diakui, rata-rata setiap buah menghasilkan
keuntungan Rp 1.000 hingga Rp 2.000. Jika sehari bisa menjual 20 biji durian
maka keuntungan yang diraihnya tak lebih dari Rp 300 ribu.
Meski sistem produksi dan
distribusinya sederhana, namun tak bisa ditampik buah durian memang salah satu
buah yang berstatus elite. Buah itu digemari seluruh lapisan masyarakat, dari
masyarakat umum hingga masyarakat dari kalangan sosial yang tinggi. Bahkan
untuk ukuran orang kaya, buah durian yang relatif mahal itu bisa dibelinya
dengan mudah seperti membeli kacang goreng. Sekali lagi, bisa dibayangkan
penghasilan yang diperoleh dari bisnis durian jika buah-buahan itu bisa
dibudidayakan sehingga mampu berproduksi dalam jumlah yang banyak setiap
harinya. Bahkan jika bisa dibudidayakan dengan sukses maka durian Bestala
dengan sendirinya akan mampu mengangkat citra Buleleng dalam percaturan bisnis
buah-buahan, bukan hanya di Bali namun juga di Indonesia bahkan luar
negeri.
Data yang diperoleh dari
Dinas Pertanian dan Peternakan Buleleng, pada setiap musimnya, Buleleng bisa
menghasilkan 1.000 ton durian. Jumlah itu diperoleh dari puluhan ribu jumlah
pohon durian yang ada di Buleleng. Di Bestala saja, jumlah pohon durian
mencapai 5.000. Dengan jumlah produksi sebesar itu Buleleng seharusnya bisa memiliki
satu ikon penting dalam dunia pertanian, yakni sebagai penghasil buah durian
unggul.
sumber...dari Mbah Google..
Sy Ingin tanam durian Bestala tapi ga ngerti penjual bibitnya, apakah ada informasinya
BalasHapusBibit biasanya dr biji langsung tanam
BalasHapusBukan sekedar durian dari desa Bestala, tapi sy ingin bibit durian nya pak rawi asal Bestala yg juara kontes yg jadi varietas unggul nasional. Apakah ada informasinya contact person yg bisa saya hubungi?
BalasHapus