Kamis, 19 Juli 2012



Bestala...


MENDAPAT durian runtuh, berarti seseorang ditimpa keberuntungan. Beruntung: mungkin menang undian mobil di bank besar, mungkin menang togel tembus empat angka seratus kupon, atau mungkin seseorang tanpa keturunan tiba-tiba menghibahkan warisan kebun cengkeh ribuan hektar ke pangkuanmu.
Di Desa Bestala, sebuah perkampungan pada lereng subur di pelosok Buleleng yang disangga kebun dan belitan sabuk hutan belantara, beratus-ratus durian bisa runtuh pada setiap pagi, pada musim buah yang riang. Dan orang-orang bangun dari mimpi untuk melihat kenyataan yang amat sederhana. Durian menggelinding di bawah pohon, di lereng jurang, atau pada hampar rumput yang basah oleh embun. Sebagian orang-orang Bestala akan bergerak tanpa tergesa, memunggut satu atau dua buah, dengan senyum segar yang tak dikarang-karang. Senyum pagi yang yang dingin, berkabut, tapi jelas.
Pada musim buah yang riang, ada durian runtuh setiap pagi di Desa Bestala. Apakah orang-orang di desa hijau itu sangat beruntung? Belum tentu. Justru karena mereka benar-benar mendapatkan durian setiap pagi. Senyata-nyatanya durian. Mereka tak hidup dalam dunia pepatah, mereka tak hidup dalam dunia ibarat. Mereka hanya larut dalam ritual alam, ritual kepastian tanpa bisa menawar atau ditawar.
Ritual itu dimulai pukul 06.00, mungkin pukul 04.00. Ketika dingin berembus, sebagian orang di Bestala melemparkan selimut ke tepi dipan, lalu bergerak ke belakang rumah, mungkin ada yang menyelinap ke sebuah kebun di tepi hutan di lereng jurang. Di bawah pohon durian mereka memungut keberuntungan dengan rasa syukur yang sahaja. Dua, tiga, atau sepuluh durian terkumpul. Jika hanya dua, durian itu cukup ditenteng dengan dua tangan dengan rasa yang teramat ringan. Jika banyak, durian itu dimasukkan dalam karung lalu digendongnya juga dengan rasa yang teramat ringan. Di depan rumah, durian itu diletakkan begitu saja. Maka jika sempat masuk ke jalan-jalan bersih di Bestala pada sebuah pagi yang tepat, akan terlihat pemandangan menggiurkan, di mana pada setiap pintu gerbang di depan rumah terlihat onggokan durian lengkap dengan tebaran aroma harum-manis memabukkan.
Ritual lanjutan pun dimulai. Seseorang, mungkin dari Seririt, mungkin dari Busungbiu, dengan mengendarai sepeda motor yang diganduli sepasang bakul pada boncengannya memungut durian itu, satu per satu, di setiap rumah. Seseorang itu membawanya ke pasar, dan durian itu pun melanjutkan ritualnya ke wilayah yang mungkin sama sekali tak dikenal. Sementara orang-orang di Bestala, pada musim buah yang riang tetap saja menggelar ritual pagi yang unik. Bangun pagi, memungut, mengumpulkan di depan rumah, lalu hari-hari pun seperti biasa.
Apakah orang-orang Bestala cukup beruntung memiliki warisan pohon durian dengan buah lezat yang membuat desa itu selalu dibincangkan pada setiap musim buah yang riang? Belum tentu, jika keberuntungan hanya diukur dari garis keramat ilmu ekonomi. Di Bestala, keberuntungan sepertinya hanya digariskan oleh alam, di mana musim dan cuaca dibiarkan jadi topang yang lentur. Untuk itulah maka tak ada istilah panen durian. Mereka tak menyewa tukang panjat untuk menggugurkan seluruh buah di atas pohon. Mereka hanya memungut satu per satu ketika buah telah matang dan runtuh ke tanah. Mereka juga membiarkan ratusan pohon durian di desa itu tetap tumbuh semakin besar, sehingga sejumlah pohon seakan-akan mirip makhluk purba yang mengerikan. Mereka tak mencoba untuk menebang dan menggantinya dengan pohon durian kerdil yang lebih unggul dan lebih rajin mengeluarkan buah. Tak ada intensifikasi dan ekstensifikasi. Yang dipertahankan dengan sederhana hanya sebuah ritual pagi, di mana sebuah ruang, waktu dan musim dibiarkan tumbuh dan berganti, seperti juga nasib yang tak bisa diubah, ditubah atau ditubas.

Setiap musim panen durian kawasan pinggir jalan-jalan besar di Buleleng kembali dihiasi pedagang durian musiman. Tengok misalnya di sepanjang jalan raya jurusan Singaraja-Denpasar, Singaraja-Gilimanuk, Seririt-Tabanan dan jalan raya Kubutambahan-Kintamani. Di pinggir jalan lintas kabupaten itu terdapat sejumlah tumpukan durian yang digeletakkan begitu saja di atas trotoar atau disangga di atas meja sederhana. Buah dengan aroma menggairahkan itu tentu saja menggoda banyak orang yang lewat untuk segera berhenti. Tawar-menawar pun terjadi. Banyak pembeli yang membuka langsung durian itu di pinggir jalan dan banyak juga yang memboyongnya sebagai oleh-oleh keluarga di rumah. Mengapa orang begitu kesemsem dengan buah yang satu ini? Apakah karena manisnya ataukan ada manfaat lain bagi nutrisi manusia?
Buleleng memang memiliki banyak desa yang menjadi sentra penghasil buah lokal, terutama durian, manggis dan ceroring. Yang paling terkenal tentu saja duriannya. Dan jika menyebut durian, orang akan langsung teringat dengan Desa Bestala atau Desa Munduk Bestala yang terletak di wilayah atas Kecamatan Seririt. Bestala memang terkenal sebagai penghasil durian lokal dengan rasa buah yang harum dan manis. Selain di Bestala, di daerah Buleleng bagian timur terdapat Desa Sudaji yang terkenal sebagai penghasil durian Bangkok dengan ciri buah yang tebal dan juga manis.
Sayangnya, buah durian tidak bisa dijual setiap hari. Pemandangan meriah dengan onggokan-onggokan durian di pinggir jalan hanya bisa dinikmati sekitar empat bulan setiap tahunnya, yakni pada setiap musim durian yang biasanya terjadi pada bulan Desember hingga bulan Maret. Jika saja durian itu bisa dibudidayakan dengan baik, mungkin saja bisnis durian di pinggir jalan itu bisa dilakukan sepanjang hari tanpa mengenal musim dan cuaca. Namun apa boleh buat, pohon durian memang tak bisa dipaksa berbuah setiap hari. Buah lokal itu tidak seperti apel atau buah-buahan impor lainnya yang selalu saja tersedia di swalayan dan supermarket pada musim hujan, musim kemarau bahkan pada musim gugur sekalipun.
Karena hanya mengandalkan musim dan dengan pembudidayaan yang sederhana, maka bisnis durian pun seperti dijalankan dengan apa adanya. Produksi, distribusi dan cara pemasaran durian di Buleleng memang masih dilakukan secara tradisional dan sangat sederhana. Tak ada istilah panen durian, di mana buah-buah durian itu dipetik secara bersamaan dalam satu hari. Pemilik pohon durian hanya mengandalkan durian runtuh setiap pagi. Setiap pagi para pemilik pohon akan masuk kebun, mencari durian yang runtuh. Jika dapat lima biji, maka dijual lima biji, begitu terus setiap hari.
Setiap pagi para pengepul dengan mengendarai sepeda motor gandengan akan berkeliling ke satu ke rumah lainnya untuk mengumpulkan durian-durian hasil reruntuhan itu. Setelah terkumpul, durian itu dibawa ke pasar atau diserahkan ke pengepul lain. Distribusinya bisa mencapai lima kali tahapan. Dari pemilik, ke pengepul satu, pengepul dua, tiga, empat dan terakhir baru tiba di tangan penjual di pasar atau pinggir jalan.
Dengan distribusi seperti itu, maka harga durian Bestala di pasar atau pada penjaja pinggir jalan bisa mencapai Rp 20.000. Padahal harga jual di rumah-rumah hanya sekitar Rp 5.000. Jika sampai di Denpasar atau di luar Bali tahapan distribusi bisa mencapai delapan kali tahapan.
Namun, banyak juga pedagang-pedagang di pinggir jalan yang mengambil langsung ke kebun-kebun warga yang ada di desa-desa. Para pedagang itu biasanya membeli langsung secara borongan kepada warga. Biasanya para pedagang dengan warga pemilik pohon durian sudah memiliki hubungan baik, semacam hubungan langganan. Dengan membeli langsung kepada warga pemilik pohon durian, maka para pedagang itu bisa mendapatkan keuntungan lebih besar karena otomatis sejumlah tahapan distribusi akan terpangkas. 
Memang, pada akhir atau awal musim, ketika stok durian sedikit, harga durian akan menjadi lebih mahal. Namun tetap saja seorang pedagang seperti dirinya tak bisa mengambil keuntungan terlalu banyak karena pada saat durian sedikit, harga jual di tingkat warga pemilik kebun juga tetap saja mahal. Diakui, rata-rata setiap buah menghasilkan keuntungan Rp 1.000 hingga Rp 2.000. Jika sehari bisa menjual 20 biji durian maka keuntungan yang diraihnya tak lebih dari Rp 300 ribu.
Meski sistem produksi dan distribusinya sederhana, namun tak bisa ditampik buah durian memang salah satu buah yang berstatus elite. Buah itu digemari seluruh lapisan masyarakat, dari masyarakat umum hingga masyarakat dari kalangan sosial yang tinggi. Bahkan untuk ukuran orang kaya, buah durian yang relatif mahal itu bisa dibelinya dengan mudah seperti membeli kacang goreng. Sekali lagi, bisa dibayangkan penghasilan yang diperoleh dari bisnis durian jika buah-buahan itu bisa dibudidayakan sehingga mampu berproduksi dalam jumlah yang banyak setiap harinya. Bahkan jika bisa dibudidayakan dengan sukses maka durian Bestala dengan sendirinya akan mampu mengangkat citra Buleleng dalam percaturan bisnis buah-buahan, bukan hanya di Bali namun juga di Indonesia bahkan luar negeri. 
  
Data yang diperoleh dari Dinas Pertanian dan Peternakan Buleleng, pada setiap musimnya, Buleleng bisa menghasilkan 1.000 ton durian. Jumlah itu diperoleh dari puluhan ribu jumlah pohon durian yang ada di Buleleng. Di Bestala saja, jumlah pohon durian mencapai 5.000. Dengan jumlah produksi sebesar itu Buleleng seharusnya bisa memiliki satu ikon penting dalam dunia pertanian, yakni sebagai penghasil buah durian unggul.  



sumber...dari Mbah Google..

3 komentar:

  1. Sy Ingin tanam durian Bestala tapi ga ngerti penjual bibitnya, apakah ada informasinya

    BalasHapus
  2. Bibit biasanya dr biji langsung tanam

    BalasHapus
  3. Bukan sekedar durian dari desa Bestala, tapi sy ingin bibit durian nya pak rawi asal Bestala yg juara kontes yg jadi varietas unggul nasional. Apakah ada informasinya contact person yg bisa saya hubungi?

    BalasHapus